20 Juni 2025 - Pengadilan Tinggi Agama Kendari mengikuti bimbingan teknis secara dalam jaringan (daring) oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, dengan tema “Etika dan Perilaku Layanan terhadap Kaum Rentan di Pengadilan Agama” yang disampaikan oleh bapak Dwiarso Budi Santiarto, S.H., M.Hum. selaku Ketua Kamar Pengawasan Mahkamah Agung Republik Indonesia. Acara Bimbingan Teknis ini dihadiri oleh tenaga teknis dari Badan Peradilan Agama yang berada di seluruh daerah Indonesia.
Dalam upaya memperkuat pelayanan publik yang inklusif dan menjamin keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat, Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama dan badan Peradilan Agama dibawahnya menegaskan komitmennya terhadap peningkatan etika dan perilaku layanan, khususnya bagi kelompok masyarakat rentan. Kaum rentan adalah Kelompok rentan mencakup individu atau komunitas yang mengalami keterbatasan dalam mengakses hak-haknya, seperti: perempuan, anak-anak, lansia, penyandang disabilitas, masyarakat adat, fakir miskin, korban kekerasan, kelompok minoritas dan marjinal lainnya. Pelayanan terhadap kaum rentan didasarkan pada sejumlah regulasi penting, di antaranya Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, Peraturan Mahkamah Agung No. 3 Tahun 2017 mengenai pedoman dalam mengadili perkara perempuan berhadapan dengan hukum, serta Keputusan Dirjen Badilag Tahun 2022 tentang penyelenggaraan pelayanan ramah penyandang disabilitas.
Etika layanan merupakan pedoman moral dalam bertindak profesional, sementara perilaku layanan mencerminkan pelaksanaan etika tersebut secara nyata dalam pelayanan yang adil, bermartabat, dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Dalam hal ini, keberpihakan kepada kelompok rentan menjadi sangat penting. Untuk itu, berbagai hak dasar bagi kaum rentan harus dijamin, seperti akses terhadap kehidupan layak, pendidikan, kesehatan, pekerjaan, lingkungan hidup yang bersih, keadilan hukum, hingga partisipasi dalam program pembangunan. Sayangnya, pelanggaran masih kerap terjadi, seperti penelantaran, diskriminasi, keterbatasan informasi hukum, hingga kurangnya akses terhadap pendidikan dan fasilitas publik.
Dalam melayani kaum rentan, aparat pengadilan harus menjunjung tinggi prinsip keadilan dan kesetaraan, penghormatan HAM, transparansi, inklusivitas, dan aksesibilitas. Bentuk implementasinya dapat berupa sikap empatik, penyediaan fasilitas ramah disabilitas, prosedur sidang yang sensitif terhadap trauma, penggunaan teknologi (seperti sidang daring), serta pendampingan hukum dan psikologis. Dengan penerapan layanan yang berbasis etika dan kepekaan terhadap kaum rentan, diharapkan pengadilan agama dapat memberikan jaminan HAM tanpa diskriminasi, meningkatkan kualitas pelayanan publik, dan mewujudkan keadilan sosial yang inklusif.
Diakhir penjelasannya, beliau menegaskan kembali bahwasannya pengadilan memiliki peran strategis dalam menciptakan sistem peradilan yang berkeadilan, aman, dan inklusif. Dengan etika dan perilaku layanan yang baik, kita dapat memastikan bahwa semua warga negara, tanpa kecuali, memperoleh keadilan yang sepatutnya.