Pranata Komputer Ahli Pertama
Kalau Sudah Tiada Baru Terasa
(Refleksi Puasa Ramadhan)
Oleh: Samsul Zakaria, S.Sy., M.H.
Salah satu faidah puasa menurut Syeikh ‘Izzuddin bin Abdis Salam (w. 660 Hijriah) dalam Kitab Maqashid ash-Shaum adalah syukru ‘Alim al-khafiyyat (bersyukur kepada Allah yang Mengetahui segala yang tersembunyi). Ketika seseorang berpuasa, menurut Syeikh ‘Izzuddin, ia menyadari nikmat Allah berupa rasa kenyang dan terlepas dari dahaga. Atas kondisi tersebut, lalu ia bersyukur kepada Allah.
“Fainna an-ni’ama la yu’rafu miqdaruha (sungguh segenap kenikmatan itu tidak disadari nilainya),” tulis Syeikh ‘Izzuddin. “Illa bifaqdiha (kecuali bila sudah tiada),” tutupnya. Betapa banyak yang lupa bersyukur atas nikmatnya sesuap nasi dan seteguk air. Puasa mengingatkan kita akan nikmat tersebut. Dan lebih dari itu, menjadi motivasi untuk selalu bersyukur kepada Allah ta’ala.
Dalam butiran beras yang menjadi nasi lalu kita santap, terkandung moral ketuhanan yang luar biasa. “Pernahkah kamu perhatikan benih yang kamu tanam?” firman Allah dalam Q.S al-Waqi’ah ayat 63. “Kamukah yang menumbuhkannya atau Kami yang menumbuhkan?” tegas Allah ta’ala. Manusia hanya bertugas menanam. Allah yang berkuasa menjadikannya tumbuh atau mati.
Dalam seteguk air yang kita minum, sungguh terkandung pesan ilahi yang mendalam. “Tidakkah kamu perhatikan air yang kamu minum?” firman Allah masih dalam Q.S al-Waqi’ah. “Kamukah yang menurunkannya (air tersebut) dari awan ataukah Kami yang menurunkan?” lanjut Allah ta’ala. Dua ayat tersebut menegaskan betapa agung kuasa Allah serta betapa lemahnya kita manusia.
Puasa menyadarkan kita akan kenikmatan-kenikmatan yang seringkali tidak kita sadari tersebut. Dengan puasa, kita dilatih untuk berhenti sejenak. Kita menahan nafsu atas hal-hal yang sebenarnya halal. Dengan cara itu, kita menjadi sadar akan nikmat yang selama ini kita rasakan. Atas nikmat yang seringkali tidak kita sadari apalagi mensyukurinya.
Bagi yang berpuasa, sabda Nabi Muhammad Saw, ada dua kebahagiaan. Pertama, saat buka puasa (‘indal ifthar). Kedua, saat berjumpa dengan Allah ta’ala (‘inda liqa-i Rabbihi). Mengapa buka puasa itu membahagiakan? Karena kita merasakan kembali kenikmatan menyantap makan dan minum yang halal. Seolah kita menemukan kembali sesuatu yang hilang. Disitulah kebahagiaan tercipta.
Masalah puasa (dari makan dan minum serta segala yang membatalkan) dapat kita tarik dalam konteks lain. Misalnya kebersamaan dengan keluarga. Tatkala kita selalu bersama seringkali kita tidak sadar bahwa kebersamaan itu adalah kenikmatan. Kita baru sadar nikmatnya bersama saat kita harus “puasa”, berpisah dengan keluarga dalam beberapa masa.
Selaras dengan itu, kaum bijak pandai menasihati. “Jangan sedih dengan perpisahan. Berpisah adalah ikhtiar untuk menabung rindu.” Perpisahan sejatinya adalah “puasa” bertemu. Momen itu menjadi pengingat akan betapa nikmatnya bersama. Bila setelah berpisah dapat bersama kembali, kita akan lebih mampu merasakan nikmatnya kebersamaan. Lalu, mensyukurinya dengan sepenuh hati.
Sama halnya dengan kesehatan. Saat masih sehat, kita lupa itu adalah nikmat. Kita lalai untuk mensyukurinya dengan berbuat taat yang maksimal. Saat kita harus “puasa” sehat alias sakit, kita baru sadar. Betapa nikmatnya sehat. Ujian sakit itu menjadi pengingat. Bila sembuh, sehat kembali, maka sadari nikmat tersebut dan syukuri. Dengan cara berbuat kebaikan sebanyak-banyaknya.
Kalau sudah tiada baru terasa. Bahwa kehadirannya sungguh berharga. Sebelum nikmat itu tiada, lekaslah kita syukuri dengan sebaik-baiknya. Selagi sempat, selagi dapat. Betapa banyak karib kerabat yang puasa tahun lalu masih bersama kita. Sementara tahun ini sudah tidak bersama kita lagi. Kita yang masih berjumpa Ramadan tahun ini, adakah jaminan untuk Ramadan mendatang?
Ramadan ini menjadi madrasah kita untuk menempa diri. Kita diwajibkan untuk puasa, untuk menahan, untuk imsak, sementara waktu saja. Saat adzan Maghrib berkumandang, kita bergegas berbuka. Apa yang seharian “tiada” menjadi “ada” kembali. Mudah-mudahan kita semakin menyadari betapa banyak nikmat-Nya. Dan terus mensyukurinya dengan tambah taat dan jauh dari maksiat.
Selagi sempat, selagi dapat. Selagi kita masih bertemu Ramadan dalam keadaan sehat. Berpuasa di bulan mulia ini juga sebuah kenikmatan besar. Akan tiba masa dimana kita harus berpuasa selama-lamanya. Saat datang waktu dimana kita harus menghadap keharibaan-Nya. Saat itu, tidak ada lagi kesempatan memperbaiki diri. Karena yang tersisa adalah pertanggungjawaban.
PUASA SEBAGAI MOMENTUM
Oleh: M. Khusnul Khuluq
Bulan Ramadan adalah momentum untuk memperbaiki dan meningkatkan kembali semangat ibadah. Momentum untuk mendekatkan diri kepada Allah. Momentum untuk berdoa dan mohon ampunan.
Di laur bulan Ramadan kita telah melakukan itu semua. Tapi, selama setahun kita mengerjakan itu, tentu ada titik penurunan. Baik dari segi kualitas maupun dari segi kuantitas.
Karena itu, bulan Ramadan adalah momentum. Waktu yang tepat untuk meningkatkan kembali itu semua. Karena kita percaya bahwa bulan Ramadan adalah bulan yang suci. Di mana segala ibadah akan mendapat pahala berlipat. Kita percaya itu.
Seperti pisau yang telah lama tidak diasah. Maka ini adalah waktu yang tepat untuk mengasah ketajaman. Seperti besi yang telah sedikit berkarat, ini adalah waktu yang pas untuk membersihkannya.
Selengkapnya KLIK DISINI
Ketika Pohon Datang ke Pengadilan untuk Menggugat: Meneropong Arah Kemajuan Hukum Kontemporer
Oleh : M. Khusnul Khuluq
Hakim PA Sungai Penuh
Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.
Bagaimana kemungkinan satu batang pohon datang ke pengadilan untuk menggugat korporasi yang hendak menebang dirinya? Dan apa pentingnya? Perkembangan ini muncul dari tumbuh pesatnya gerakan lingkungan hidup selama beberapa dekade terakhir. Dan ini memberikan pandangan dan tata hidup yang baru bagi umat manusia.
Secara filosofis, gerakan ini sudah cukup matang. Filsafat biosentrisme misalnya, mengajarkan sesuatu yang baru pada manusia. Secara sederhana, biosentrisme mengatakan bahwa status binatang dan tumbuhan setara dengan manusia. Sebagaimana berharganya manusia, begitu juga hewan dan tumbuhan.
Biosentrisme merevisi pandangan antroposentrisme. Di mana antroposentrisme menjadikan umat manusia sebagai pusat perhatian. Dalam pandangan antroposentrisme, hewan, tumbuhan dan makhluk lain tidak begitu penting. Umat manusia satu-satunya kehidupan yang penting. Karena itu, manusia boleh melakukan apa saja pada kehidupan lain. Hewan dan tumbuhan boleh diperlakukan apa saja untuk kepentingan manusia.
Selengkapnya KLIK DISINI
Perlindungan Hukum Bagi Perempuan Korban Kekerasan
Oleh : Siti Erlania | Kasubbag PTIP PA Ngamprah
Isu kekerasan terhadap perempuan Indonesia
Isu kekerasan terhadap perempuan merupakan salah satu topik yang saat ini hangat dibicarakan, bahkan selalu menjadi polemik yang tidak pernah usai sejak dulu. Dalam beberapa pekan kebelakang telah banyak terungkap kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia. Meningkatnya perkara kekerasan terhadap perempuan saat ini semakin memprihatinkan dan mengusik hati nurani. Media cetak dan elektronik hampir setiap hari menyuguhkan beritamengenai pemerkosaan, penganiayaan, perdagangan perempuan (trafficking), pelecehan seksual, bahkan pembunuhan yang dialami oleh perempuan. Tidak hanya menimpa perempuan dewasa namun juga dialami anak-anak perempuan yang dijadikan objek kekerasan. Pelaku kekerasan tidak hanya dilakukan orang yang tak dikenal korban namun dilakukan pula oleh orang-orang terdekat korban.
Selengkapnya KLIK DISINI
URGENSI PENERAPAN DWANGSOM
Terhadap Gugatan Hadhanah Putusan Perkara Nomor :xxxx/Pdt.G/2021/PA.Srg
Bunyi amar putusan Pengadilan Agama Serang yang dibacakan pada tgl 23 Desember 2021
diatas sebagai berikut :
1.Mengabulkan Gugatan Penggugat; 2.Menetapkan Hak Asuh 1 (satu) orang anak Penggugat dan Tergugat bernama : (nama anak) dibawah perawatan dan pengasuhan Penggugat; 3. Menghukum Tergugat untuk menyerahkan (satu) orang anak bernama : (nama anak) kepada Pengguat;. 4.Menghukum Tergugat untuk membayar Dwangsom sebesar Rp. 200 000,- (dua ratus ribu rupiah) setiap hari atas keterlambatan penyerahan anak tersebut kepada Penggugat; Membebankan kepada Penggugat membayar biaya perkara ini.
Analisa Hukum :
Penerapan Dwangsom oleh Majelis Hakim pemeriksa perkara diatas adalah semata-mata jawabnya atas “kemudahan eksekusi sebagai wujud perlindungan hukum dan keadilan, agar pencari keadilan dapat dengan mudah memperoleh keadilan”.
Menurut A.Mukti Arto, dalam bukunya Urgensi Dwangsom dalam Eksekusi Hadhanah, agar putusan hakim mempunyai “daya” tekan psikologis terhadap tergugat, sehingga mau melaksanakan hukuman pokok. Hakim secara ex officio atau kerena jabatannyan diwajibkan menjatuhkan hukuman dwangsom tanpa diminta oleh penggugat dalam petitumnya. Hal ini karena sistem peradilan yang dianut di Indonesia adalah sistem peradilan berbasis perlindungan hukum dan keadilan sebagaimana dicita-citakan oleh UUD 1945.
Kewajiban ex officio ini dengan mengingat betapa urgensinya eksekusi dalam proses peradilan, yakni sebagai bukti tegaknya kekuasaan kehakiman, bukti suksesnya penegakan hukum dan keadilan, bukti suksesnya pelayanan hukum dan keadilan, dan bukti efektifnya sistem peradilan berbasis perlindungan hukum dan keadilan.
Dalam sistem peradilan berbasis perlindungan hukum dan keadilan, “hakim wajib menjatuhkan amar dwangsom tanpa harus ada permintaan dari penggugat”, dalam memberikan perlindungan hukum dan keadilan. Menambahkan amar dwangsom secara ex officio tanpa ada permintaan dari penggugat tidak termasuk kategori melanggar larangan ultra petita karena amar dwangsom termasuk kategori kewenangan ex officio hakim.
Amar dwangsom menurut A. Mukti Arto sudah termasuk dalam kategori kewenangan ex officio hakim, karena amar dwangsom telah memiliki persyaratan ex officio, yaitu :
Larangan ultra petita sebagaimana diatur dalam pasal 178 ayat (3) HIR dan pasal 189 ayat (3) R.Bg adalah mengenai pokok perkara yang dituntut oleh penggugat. Larangan ini berlaku terhadap petitum dalam pokok perkara dimana hakim tidak boleh memutus lebih dari yang diminta dalam petitum atau memutus yang tidak diminta dalam petitum. Amar dwangsom bukan merupakan pokok perkara tetapi sekedar “sarana” agar amar mengenai pokok perkara dapat dilaksanakan secara baik, adil dan manusiawi.
Berdasarkan argumentasi tersebut diatas, maka penambahan amar dwangsom secara ex officio yang ada pada petitum bukan merupakan pelanggaran terhadap ultra petita, melainkan sudah merupakan kewenangan ex officio hakim. Hakim secara ex officio dapat menambahkan amar dwangsom apabila terdapat cukup alasan untuk itu.
Beberapa alasan dibolehkannya menjatuhkan amar dwangsom secara ex officio, menurut Hakim Agung A. Mukti Arto antara lain :
a. Berdasarkan prinsip perlindungan hukum dan keadilan.
Tugas pengadilan menurut UUD 1945 maupun doktrin syari’at Islam adalah memberi perlindungan hukum dan keadilan kepada para pencari keadilan. Sebagaimana diamanatkan dalam pasal 2 ayat (4) dan pasal 4 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman jo. Pasal 58 ayat (2) UU Peradilan Agama. Untuk itu maka hakim secara ex officio berwenang menjatuhkan amar asessoir tanpa harus ada permintaan dari penggugat.
b. Amar dwangsom hanya bersifat asessoir.
Amar dwangsom bukan merupakan amar mengenai pokok perkara yang hanya dapat dijatuhkan jika ada permintaan dari penggugat. Larangan melanggar asas ultra petita hanya berlaku terhadap tuntutan pokok semata. Larangan ultra petita tidak berlaku terhadap amar asessoir kerena asessoir hanya bersifat menopang saja, agar amar mengenai pokok perkara dapat dijalankan. Amar dwangsom merupakan amar asessoir yang menjadi kewenangan hakim secara ex officio untuk melindungi hak penggugat dan menyelamatkan tergugat dari melanggar kewajibannya yang telah ditetapkan oleh hakim. Amar asessoir merupakan kewenangan ex officio hakim guna menopang kemudahan eksekusi demi mewujudkan keadilan.
c. Tidak ada pihak yang dirugikan dengan amar dwangsom.
Dengan penambahan amar dwangsom secara ex officio maka sesungguhnya tidak ada pihak yang dirugikan. Penggugat diuntungkan karena dapat memperoleh keadilan dengan mudah sebagai pemegang hadhanah dan tergugat juga memperoleh keadilan dengan memenuhi apa yang menjadi kewajibannya berdasarkan perintah hakim. Memenuhi kewajiban merupakan wujud dari keadilan bagi tergugat.
d. Terdapat cukup alasan untuk menjatuhkan sanksi dwangsom.
Amar dwangsom dapat dijatuhkan manakala telah ada cukup alasan, sebagaimana diuraikan diatas.
Alasan hakim secara ex officio menjatuhkan amar dwangsom dalam rangka eksekusi hadhanah, antara lain apabila :
Wassalam Semoga Bermanfa’at, Amin !
Serang, 27 Desember 2021
Drs. M. Syukri
Profil Penulis
© 2025 Pengadilan Tinggi Agama Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara ™